PRAKTEK PROFESIONALISME DAN PENGEMBANGAN PROFESIONAL GURU DI SULAWESI SELATAN
Oleh: H. Hasan, S.Pd, M.Pd, Ph.D
(Tenaga Pendidik di SMAN 3 Pangkep)
Disajikan pada Seminar Internasional Agupena Kab. Barru 27-28 April 2019
Di Islamic Centre Kabupaten Barru
Pengenalan
Pemerintah Indonesia telah secara
agresif bergerak maju dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang kompetitif
untuk menghadapi perdagangan bebas secara global (Sutanto, 2013). Pemerintah
telah berusaha untuk memobilisasi sumber daya manusia dalam meningkatkan
stabilitas nasional. Dalam upaya mencapai kemandirian dan stabilitas seperti
itu, pengembangan pendidikan menjadi prioritas dalam mengelola dan
mengembangkan sumber daya manusia yang sangat besar (Bappenas, 2010). Secara
khusus, pemerintah mulai merevitalisasi seluruh apsek termasuk SDM di dunia
pendidikan yakni guru. Setiap negara mengadopsi strategi berbeda dalam merekrut
guru sebagai tenaga kerja profesional. Oleh karena itu, paper ini membahas
praktik profesionalisme guru dan kegiatan pengembangan profesional guru untuk
mengidentifikasi program alternatif, desain, dan strategi untuk menjadi guru
profesional di tingkat sekolah menengah di Sulawesi Selatan. Ini akan menjadi
pedoman bagi pemangku kepentingan dan guru untuk meningkatkan kompetensi
pengetahuan dan keterampilan mengajar. Bahkan, kedua variable ini duharapkan
menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan kurangnya pemahaman untuk menjadi
guru profesional. Selain itu, ini juga dapat menginspirasi semua guru untuk
beralih dari perspektif tradisional ke paradigma baru dalam mengajar.
Latar Belakang
Saat ini, sebagian besar negara
membutuhkan calon guru yang memiliki kualifikasi akademik yang baik. Selain
itu, dalam memprofesionalkan tenaga pengajar, Departemen Pendidikan Indonesia
telah mengidentifikasi beberapa gejala yang mengindikasikan rendahnya kualitas
di antara guru-guru Indonesia. Sebelumnya, Sudarminta (2000) telah mengungkap
kelemahan beberapa guru di ruang kelas seperti; (i) kurangnya penguasaan materi
yang diajarkan, (ii) ketidaksesuaian antara bidang studi guru yang dipelajari
dan diajarkan, (iii) kurangnya cara mengajar dan otoritas yang efektif di depan
siswa, (iv) motivasi dan dedikasi yang rendah untuk menjadi seorang pendidik
sejati, (v) kurangnya kedewasaan emosional, kemandirian pemikiran, dan
penentuan sikap sebagai pendidik di mana sebagian besar guru masih hanya
melayani sebagai guru; (vi) tingkat intelektual siswa yang memilih lembaga
keguruan relatif rendah dibandingkan dengan mereka yang masuk universitas.
Adapun kekurangannya, Ingersoll (2007) menyarankan bahwa pembuat kebijakan
harus fokus pada dua pendekatan umum; pertama, memastikan semua mata pelajaran
diajarkan oleh guru yang berkualifikasi di bidang pendidikan dan kedua, memasok
guru yang kurang mata pelajaran dengan merekrut guru baru yang berkualifikasi
atau melakukan pemerataan guru. Kondisi ini menyebabkan ketidakseimbangan
kuantitas dan kualitas guru di daerah perkotaan dan pedesaan di Sulawesi
Selatan (Maklassa, 2014).
Rendahnya pencapaian pendidikan guru
di kalangan guru di Indonesia merupakan dampak dari kondisi rekrutmen
sebelumnya yang mengharuskan lulusan sekolah menengah atas dan diploma untuk
memasuki profesi ini (Bjork, 2003). Di Sulawesi Selatan, Pusat Statistik
Pendidikan mengidentifikasi 19,41 persen guru dengan kualifikasi di bawah
sarjana (DEPDIKNAS, 2012). Selain itu, diperdebatkan apakah kualifikasi ini
sudah cukup bagi guru untuk memperoleh pengetahuan yang mendalam dan
keterampilan tinggi untuk memenuhi kebutuhan siswa. Selain itu, itu kontras
dengan sebagian besar negara dengan kinerja terbaik yang hanya merekrut
kandidat dengan kinerja akademik terbaik dan menyiratkan bahwa guru mereka
harus memiliki gelar master (Tuovinen, 2008).
Selain itu, mengidentifikasi kelemahan
mengawasi atau mengevaluasi pengaruh kinerja guru adalah bagian dari
profesionalisasi. Meskipun guru diawasi, mereka tidak mendapatkan umpan balik
sebagai refleksi untuk perbaikan. Selanjutnya, Schacter (2000) menemukan bahwa
sektor publik Indonesia ditantang untuk memperbaiki kelemahan sistem evaluasi
dan orientasi penilaian kinerja. Secara alami, ini memastikan program
pengajaran berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan ketika guru mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan untuk diterapkan di sekolah. Tidak diragukan lagi,
evaluasi adalah salah satu cara untuk memperbaiki program dan kebijakan publik
(Guerrero, 1999) sementara evaluasi secara teratur dapat menjadi dasar bagi
guru untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan dalam praktek pengajaran mereka.
Selain itu, banyak situasi yang
membuat para guru di Indonesia tidak bersemangat untuk fokus pada kinerja
mereka dalam mengajar, membuat mereka tidak berdaya, dan juga mengabaikan visi
mereka sebagai pendidik (Bjork, 2005). Dia mengamati bahwa evaluasi guru hanya
berfokus pada hal-hal manajerial seperti bagaimana melaksanakan ujian, komitmen
untuk upacara bendera, menghadiri pertemuan, dan kondisi birokrasi lainnya
tetapi tidak mengevaluasi kinerja mengajar di antara guru. Ini berarti bahwa
peningkatan kemampuan mengajar diabaikan tetapi mereka diharuskan untuk
mengikuti perintah dan berkomitmen pada peraturan pemerintah, serta memburu
target kurikulum. Memecahkan masalah kondisi seperti itu, kepala sekolah
sebagai manajer perlu mendefinisikan kembali budaya di lingkungan kerja.
Sementara itu, Mantja (2002) berpendapat bahwa guru dapat memperoleh
persyaratan di atas jika ada manajemen pendidikan yang baik untuk membangun
rasa profesionalisme manusia mereka. Guru dan kepala sekolah harus proaktif
untuk memulihkan dan mengembangkan bakat, potensi, dan minat individu. Dalam
hal ini, kepala sekolah harus peduli dan menyadari kebutuhan profesionalisme
guru termasuk; (i) keterlibatan guru berdasarkan kepribadian, bakat, dan
prestasi mereka sendiri untuk mendapatkan promosi, (ii) pengembangan guru
secara simultan, (iii) peningkatan kolaborasi guru dengan kepala sekolah.
Selain itu, profesionalisme guru
mengacu pada kualitas pribadi, pengetahuan, keterampilan, dan lingkungan dalam
melakukan kegiatan belajar mengajar. Di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia, sering ditandai dengan lingkungan kerja sekolah yang tidak mendukung
suasana kolaboratif dan kolegial untuk tumbuhnya profesionalisme (Hilferty,
2008; Locke, 2001; Reeves, 2007; Rizvi dan Elliot, 2007; Wood, 2007; Garret,
2010). Selain itu, kurangnya kolaborasi dan budaya pendampingan di antara para
guru untuk memecahkan masalah dikelas. Sebaliknya, praktik mengajar yang baik
dapat dicapai dengan mendorong praktik kolaboratif untuk membahas permasalahan
yand muncul, serta berbagi ide, dan kerja kolektif untuk menentukan strategi
yang efektif (Becker dan Riel, 1999). Glazer (1999) juga menegaskan bahwa
kolaborasi antara guru di dalam dan di luar sekolah menentukan kualitas
pengajaran dan pembelajaran di kelas. Berkolaborasi meningkatkan
profesionalisme guru karena mereka dapat menguraikan pengetahuan yang berbeda
tentang strategi dalam menerapkan desain pengajaran (Purba, 2005). Oleh karena
itu, guru harus memastikan keberhasilan siswa dengan berkolaborasi dengan teman
sejawat, orang tua, tenaga kependidikan, dan tenaga profesional pendidikan lainnya.
Temuan ini mengingatkan kita akan kekuatan kerja tim dalam lingkungan kerja
untuk memperkaya strategi serta kualitas pengajaran dan pembelajaran.
Secara individual, sejumlah faktor
memang menghambat peningkatan profesionalisme guru. Cheng May Hung sebagaimana
dinyatakan dalam (Townsend dan Bates, 2007) menegaskan bahwa ada tiga titik
kesengsaraan yang dihadapi oleh guru di Indonesia sebagai negara berkembang
termasuk; (1) beban kerja berat yang menyebabkan guru kurang memiliki waktu
untuk persiapan; (2) dukungan kepala sekolah, kebijakan dan sistem manajemen di
sekolah; (3) sumber daya sekolah yang tidak memadai. Demikian juga di Kanada,
guru ditantang untuk mengintegrasikan pembelajaran ke dalam pekerjaan mereka
(ATA, 13 September 2011). Selain itu, keterbatasan waktu juga diakui oleh Wilms
(2002) bahwa dalam layanan pembelajaran siswa, guru tidak punya banyak waktu
untuk bekerja secara kolektif. Sebagai profesional, guru harus mampu mengelola
sistem sekolah, sumber belajarnya, serta merencanakan waktu dengan baik
berdasarkan profesi dan kebutuhan pribadi. Mereka membutuhkan komitmen untuk
menyeimbangkan waktu mereka dalam melayani siswa dengan kehidupan pribadi
mereka sehari-hari.
Sementara itu, sebuah penelitian oleh
Misbahuddin (2013) menemukan faktor perbedaan menghambat pengembangan profesi
guru di Sulawesi Selatan, yaitu; (1) kurangnya kesadaran di kalangan guru dalam
mengembangkan profesi secara berkelanjutan; (2) Waktu yang tidak cukup sehingga
tidak serius dalam pelatihan; (3) kurang bermanfaat bagi pengembangan
kompetensi dalam mengajar karena peserta memiliki keterampilan dasar yang tidak
relevan, dan (4) kurangnya perhatian dari pemerintah daerah terhadap kegiatan
Forum Guru-Mata Pelajaran atau MGMP. Sejalan dengan Nielsen (1996), beberapa
peserta dalam pengembangan profesional memiliki pengetahuan dasar yang berbeda
sehingga menghasilkan hal-hal yang tidak berguna untuk pengembangan kompetensi
mereka dalam mengajar.
Secara umum, ada banyak guru yang
tidak memenuhi syarat di Sulawesi Selatan karena keterbatasan akses dan sumber
daya terutama di daerah pedesaan. Mereka jarang mendapatkan pelatihan formal
dan kurikulum terbaru yang menghambat pengetahuan dan keterampilan mengajar
mereka (Saluling, 2009). Hingga saat ini, pelatihan guru merupakan tantangan
dalam mendukung profesionalisme guru karena pemerintah memiliki keterbatasan.
Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk memperkaya kualitas pendidikan dengan
memperkuat pelatihan bagi para guru, tetapi gagal untuk menentukan tingkat
komitmen dan investasi dalam pengembangan profesional guru, dan dengan demikian
gagal menghasilkan kinerja yang lebih baik (Nielsen, 1996). Secara keseluruhan,
fokus pelatihan smestinya berasal dari hasil refleksi dan evaluasi, sedangkan
teori dan praktik yang diajarkan dalam pelatihan harus relevan dengan kebutuhan
sekolah dan lebih menekankan pada metode dan praktik mengajar.
Selain itu, Susilo Bambang Yudhoyono,
presiden Republik Indonesia pada tahun 2012 menyatakan keprihatinannya pada
Hari Guru bahwa meskipun sebagian besar guru mendapatkan penghasilan tambahan
dari sertifikasi dan insentif lain dari pemerintah daerah dan pusat, berstatus sebagai guru profesional, dan
mendapatkan lebih banyak pelatihan, mereka masih menunjukkan komitmen dan
antusiasme yang tidak stabil terhadap pekerjaan mereka. Selain itu, anggota
DPRD di Sulawesi Selatan menyoroti bahwa kualitas guru bersertifikat tidak
memenuhi harapan. Parlemen menyesali bahwa banyak guru bersertifikat kurang
disiplin untuk mengajar dan bahkan menurun dalam kualitas profesional yang
mempengaruhi proses belajar siswa (BKM, 17 Mei 2014). Oleh karena itu, pemegang
otoritas dalam pendidikan, pengawas sekolah dan kepala sekolah perlu mendukung
para guru, sedangkan para guru harus berefleksi secara teratur untuk meningkatkan
komitmen, keahlian, dan inspirasi mereka dalam mengajar. Selain itu, Toh et al.
(2006) dan Watt & Richardson (2008) percaya bahwa komitmen dan motivasi
sangat signifikan terhadap perilaku seorang guru.
Masalah kompleksitas pengembangan guru
di Indonesia telah mendorong perhatian saya untuk mempelajari aspek
profesionalisme guru dan pengembangan profesional guru untuk mendapatkan model
alternatif untuk pengembangan guru profesional. Bagian di bawah ini membahas
bagaimana para guru di Indonesia memandang profesionalisme mereka untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan praktek mereka melalui pengembangan
profesional guru. Masalah-masalah ini ditunjukkan guna mengklarifikasi konteks
tersebut di Indonesia untuk memfasilitasi pemahaman di antara pembaca tentang
dua variabel yang mendasarinya.
Pembahasan
Ada beberapa pengalaman dan fakta yang
bisa menjadi gambaran bagaimana profesionalisme dan pembangunan profesionalisme
guru di Indonesia. Guru masih banyak yang belum mendapatkan pengalaman kerja
yang komprehensif dan belum diberikan bimbingan professional dalam karir
mereka. Selain itu, pihak yang berkepentingan belum meletakkan dasar yang kuat
untuk membudayakan pembelajaran seumur hidup bagi guru; serta keinginan yang
kuat untuk melakukan refleksi dan evaluasi diri secara berkelanjutan untuk
profesi mereka sendiri.
Dalam hal implementasi profesionalisme
guru dan prakteknya dalam menjalankan profesinya, penulis mencoba untuk
menggambarkan tingkat kompetensi pedagogik dan karakteristik profesional guru
dalam prakteknya. Temuan ini menguraikan tingkat kompetensi pedagogis yang
mendasar bagi guru dalam mentransmisikan pengetahuan dan kecakapan hidup bagi
siswa. Dimensi keterampilan pedagogis, keterampilan mengajar guru dalam
menggunakan sumber belajar dan media masih di bawah keterampilan lainnya,
begitu juga dalam mengelola lingkungan belajar dengan menjaga interaksi yang
baik dalam proses belajar mengajar. Meskipun demikian, penguasaan bahan ajar
diposisikan sebagai kompetensi yang baik, namun menjadi masalah utama dalam
keterampilan pedagogik di antara guru sekolah menengah di Sulawesi Selatan.
Sementara itu, beberapa guru melakukan pengajaran tanpa mengevaluasi dan
mengembangkan konten berdasarkan kebutuhan siswa serta beradaptasi dengan
kemampuan siswa.
Selanjutnya, analisis profesionalisme
yang terkait dengan karakter dalam sikap dan perilaku menunjukkan bahwa
sebagian besar guru telah menunjukkan sikap dan perilaku yang baik dalam
menjalankan tanggung jawab, komitmen, dan penampilan mereka sebagai etika profesi.
Sebaliknya, mereka harus menunjukkan lebih banyak dalam memfasilitasi
keberhasilan siswa dalam belajar dan mencapai tujuan sekolah. Guru harus sadar
dalam mempraktikkan profesionalisme sebagai pendidik termasuk perilaku dan
sikap dimana mereka harus menempatkan kepentingan siswa di atas kepentingan
pribadi dengan berharap untuk datang ke sekolah setiap hari, dan menetapkan
standar tinggi bagi siswa. Tiga karakteristik yang memiliki signifikansi
positif untuk prestasi siswa dan untuk karir guru. Meskipun demikian,
karakteristik profesional lainnya diperlukan seperti yang telah diusulkan dalam
perilaku etis profesi.
Akhirnya, guru harus aktif dalam
kegiatan belajar melalui pengembangan profesional sebagai ruang untuk
menyegarkan dan mempromosikan praktek dan kinerja mereka di kelas. Ada banyak
jenis inisiatif seperti melalui belajar mandiri dan pelatihan dalam jabatan
untuk mengarahkan siswa mendapatkan prestasi yang lebih tinggi. Mereka memiliki
kreativitas dan inovasi yang baik untuk belajar ketika mereka mencoba hal-hal
baru di kelas mereka. Selanjutnya, mereka tampak aktif memperbarui pengetahuan
melalui penelitian atau memperbarui informasi di forum ilmiah. Kalau tidak,
banyak guru mungkin tidak menyadari peran mereka sebagai agen perubahan di antara
siswa, kolega, dan masyarakat. Pemerintah diharapkan lebih sadar akan pengakuan
untuk guru seperti fasilitas dan kesejahteraan dalam mendorong kinerja yang
lebih baik.
Aspek Pengembangan Professional Guru
Terkait
dengan praktek pengembangan profesional guru, dukungan dan kendala untuk
meningkatkan profesionalisme harus diketahui. Praktik tersebut meliputi jenis
kegiatan pembelajaran baik secara formal maupun non-formal. Program
pembelajaran/pelatihan formal sebagian besar dilakukan oleh pemerintah seperti
pelatihan dalam jabatan, lokakarya, pendampingan, peningkatan kualifikasi
pendidikan, dan forum guru atau MGMP. Program-program tersebut mungkin
berdampak pada kepercayaan diri, kinerja, dan kompetensi mereka, tetapi itu
membutuhkan perbaikan secara terus-menerus untuk hasil yang maksimal. Beberapa
guru menyatakan bahwa itu kurang efektif karena mereka mengabaikan beberapa
aspek pengembangan profesional yang efektif. Pembelajaran yang berhasil untuk
guru harus mempertimbangkan beberapa hal seperti fokus konten pembelajaran,
durasi, koherensi dengan kebijakan, pembelajaran aktif, dan partisipasi
kolektif. Selain itu, paper ini juga mengidentifikasi dukungan bagi
keberhasilan guru dalam mencapai status profesional. Mereka membutuhkan
kebijakan yang meningkatkan profesionalisme mereka seperti keuangan dan
fasilitas yang memadai, jaminan dan peluang untuk meningkatkan profesionalisme
mereka. Di sisi lain, semua pihak bertanggung jawab untuk mengatasi kendala
mereka dalam profesionalisme dan praktik pengembangan profesional seperti
motivasi diri dan komitmen untuk menjadi pembelajar seumur hidup, tersedianya
waktu dan peluang untuk belajar dan mencerminkan kegiatan mereka, dan sistem
birokrasi.
Professionalisme
Guru
|
Keterampilan
Pedagogik
|
Sikap dan perilaku yang baik
|
Memiliki
Motivasi diri, komitmen, dan pola fikir yang baik
|
Gambar
1: Aspek Dalam Praktek Professionalisme Guru
Selanjutnya, dukungan dari pemerintah, dan masyarakat (Orangtua
Siswa, Lembaga Swadaya Masyarakat, profesional, dan perusahaan) perlu
mempromosikan proses guru menjadi profesional. Ada empat jenis dukungan yang
diperlukan guru untuk menjadi profesional; (1) kebijakan untuk mengarahkan guru
menjadi pribadi yang kreatif, aktif, inovatif, kolaboratif, dan mandiri; (2)
dukungan moral untuk memperkuat potensi, komitmen, dan motivasi mereka secara
mental sebagai profesi yang mulia; (3) dukungan infrastruktur untuk memudahkan
dan memfasilitasi dalam melaksanakan tugas mereka untuk kegiatan administrasi,
pengajaran dan pembelajaran, evaluasi, dan mencerminkan kinerja yang lebih
baik; serta (4) dukungan keuangan sebagai biaya untuk semua kegiatan dan
sebagai hadiah dalam menghargai upaya mereka untuk melakukan yang terbaik bagi
siswa. Selain itu, guru harus berpengalaman dengan kegiatan pembelajaran yang
beragam untuk mempromosikan rasa kreativitas dalam merancang strategi
pembelajaran dan merasakan peserta didik seumur hidup.
Fokus
pada pengetahuan, keterampilan dan
penampilan
|
Pengembangan
Professional
|
Desain
pembelajaran yang beragam
|
Dukungan
kebijakan, moral, fasilitas, dan keuangan
|
Waktu
untuk berlatih dan melakukan
refleksi
|
Gambar 2: Aspek
dalam Praktek Pengembangan Profesional
Semua pihak harus disinergikan untuk mengatasi
kendala yang memperlambat pencapaian
target maksimal seperti waktu dan biaya untuk bergabung dengan kegiatan
pengembangan profesional, sistem birokrasi untuk meningkatkan peluang di bidang
pekerjaan, teknologi, dan sumber daya sebagai media untuk mencapai tujuan
pendidikan, motivasi diri serta komitmen untuk bekerja dengan siswa, kolega,
pemegang kebijakan, dan masyarakat. Dengan demikian, semua dimensi di atas
mempengaruhi pengembangan guru dalam proses dinamis yang dapat memengaruhi
pengajaran dan pembelajaran, lembaga pendidikan, dan kebijakan pemerintah. Ini
juga menciptakan sistem yang baik dan fleksibel dalam mengembangkan guru
profesional. Saat ini, pemerintah daerah kurang peka dalam menciptakan peluang
belajar guru walaupun mereka memiliki tanggung jawab untuk membangun kompetensi
guru sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen.
Kesimpulan
Bukti dari analisis diatas telah menunjukkan
berbagai persepsi guru terkait dengan konsep profesionalisme dan kegiatan
pengembangan profesional khususnya guru sekolah menengah negeri yang telah
sertifikasi. Dapat disimpulkan bahwa sebagai guru profesional, mereka terbukti
memiliki perilaku dan sikap teladan sebagai ciri di luar dan di dalam kelas di
antara siswa dan kolega. Menuju profesi, karakter didorong dalam menunjukkan
komitmen dan tanggung jawab mereka untuk melakukan peningkatan diri sebagai
kontribusi nyata bagi pembelajaran siswa. Oleh karena itu, kompetensi
pengetahuan tentang pengajaran mata pelajaran diperlukan untuk menunjukkan
profesionalisme dalam profesi guru. Selain itu, para guru juga dituntut untuk
meningkatkan kompetensi pedagogik mereka dalam mengajar untuk membantu siswa
mencapai pengetahuan dan keterampilan untuk kehidupan masa depan mereka. Namun,
pemerintah harus memberikan dukungan terus-menerus dengan membangun sistem
standar yang tepat untuk membantu semua guru mendapatkan standar tinggi dan
pengakuan status profesional.
ProfesionalismeTeacher
|
Sikap dan perilaku yang teladan
|
Keterampilan pedagogic dalam mengajar
|
Dukungan
Moral dan Penghargaan
|
Kompetensi Pengetahuan
|
Gambar 3: Kebutuhan Dalam Praktek Guru Profesional
Melakukan kegiatan belajar profesional yang
efektif adalah upaya lain untuk membawa guru mencapai status profesional. Namun
demikian, perlu akuntabilitas sistem birokrasi pemerintah daerah dan pusat
melalui kebijakan kesejahteraan, sistem penganggaran serta fasilitas
berdasarkan kebutuhan mereka. Selain itu, terkait dengan kompetensi guru,
pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan, berbagai kegiatan pembelajaran
dalam pengembangan profesional harus diperkuat dan didukung. Keseriusan dan
komitmen dari para pemangku kepentingan terkadang menjadi pertanyaan besar
karena hanya di atas kertas. Konsistensi dalam mendukung guru mendorong inovasi
dalam praktik mengajar untuk peningkatan pribadi dan karier sebagai anggota
komunitas sekolah. Kepastian, keamanan, dan jaminan dari pemerintah dan pihak
lain merangsang kreativitas guru untuk berubah di tingkat individu, organisasi
sekolah, dan kehidupan sosial.
Pengembangan
Profesional Guru
|
Kebutuhan Fasilitas atau Sarana
|
Sistem Pendanaan
|
Dukungan
Kebijakan Pemerintah
|
Kegiatan
Belajar yang Beragam
|
Gambar 4: Kebutuhan dalam Praktek Pengembangan
profesional
Temuan ini
juga mengidentifikasi beberapa kendala untuk praktek profesionalisme guru dan
pengembangan profesional. Guru harus menjaga komitmen, perilaku dan sikap
mereka sebagai profesional dalam melakukan tugas mengajar mereka. Selain itu,
guru harus memiliki waktu untuk
mengevaluasi diri dan melakukan refleksi terhadap kegiatan mengajar mereka.
Berikut lima apsek dalam membangun guru professional:
|
Dimensi
Inti Guru Profesional
|
Syarat
yang dibutuhkan menjadi Guru Profesional
|
Guru Profesional
|
Keteladanan dalam Sikap dan Perilaku
|
1.
Pembelajar sepanjang hayat
2.
Komitmen
3.
Tanggung Jawab
4.
Penampilan
5.
Kreatif
6.
Innovatif
|
Kegiatan dalam Pengembangan Profesional Guru
|
1.
Kulifikasi Pendidikan
2.
Pelatihan
3.
Workshop
4.
Mentoring and coaching
5.
Belajar Mandiri
|
|
Peran Pemerintah:
1.
Kebijakan
2.
Penghargaan
3.
Sarana Pendukung
4.
Dukungan Dana
|
1.1
Reformasi sistem birokrasi
2.1 Penghargaan Materi
dan non-materi
3.1
Ketrsediaan Sumber Belajar
4.1
Ketersediaan dana untuk kegiatan
belajar mengajar
|
|
Penguasaan Keterampilan Mengajar
|
1.
Pengembangan materi pembelajaran
2.
Mendesain Kegiatan Pembelajaran
3.
Mengintegrasikan IT dalam
Pembelajaran
4.
Mengorganisikan kegiatan belajar
5.
Mengaplikasikan teknik evaluasi yang
reliabel
|
|
Kompetensi Pengetahuan
|
1.
Mengaplikasikan pengetahuan
kontemporer atau ide-ide baru dalam pembelajaran
2.
Melakukan penelitian tindakan kelas
3.
Meng-update materi pembelajaran
|
Daftar
Pustaka
Bappenas,
(2010). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-1014.
Jakarta: Indonesia.
Becker,
H. J. and Riel, M. M. (1999). Teacher
Professionalism and the Emergence of Constructivist-Compatible Pedagogies. University of California, Irvine. http://www.crito.uci.edu/TLC/findings/special_report2/index.htm.
Bjork,
C. (2003). Local Responses to Decentralisation Policy in Indonesia. Comparative
Education Review, 47(2), 184-216.
Bjork,
C. (2005). Indonesian Education: Teachers, Schools, Central Bureaucracy. New
York and London: Routledge.
BKM. (2014). Fraksi Golkar Soroti
Kinerja Guru Bersertifikat. Di update, Sabtu 17 Mei 2014. http://m.beritakotamakassar.com/index.php/sulselbar/27169--fraksi-golkar-soroti-kinerja-guru-bersertifikasi.html.
Depdiknas.
(2012). Standar Sarana Prasarana Pendidikan. Jakarta: Indonesia.
Garret,
Kristi. (2010). Professional Learning Communities Professional Learning Culture
to Root. California School.
Glazer,
J. (1999). Considering the Professional Community: An Analysis of Key Ideas,
Intellectual Roots, and Future Challenges.
Paper Presented at the American Education Research Association,
Montreal, Canada, April, 1999.
Guerrero,
P. R. (1999). Evaluation Capacity Development: Comparative Insight from
Colombia, China and Indonesia. In Boyke,
and Lemaire, D. (Eds.), Building Effective Evaluation Capacity: Lessons from
Practice. New Brunswick: Transaction Publisher.
Hilferty,
Fiona, (2008). Teacher Professionalism and Cultural Diversity: Skill,
Knowledgwe and Values for Changing Australia. The Australian Educational
Researcher. Vol. 35, No.3.
Ingersoll,
Richard M. 2007. Misdiagnosing the Teacher Quality Problem. Research in
Education Policy and Finance. University of Pennsylvania.
Locke,
Terry. (2001). Questions of Professionalism Change: Transformation in
Education. Vol. 4, No. 2. pp. 30-50.
Maklassa
(2014). Pengaruh Kompetensi, Motivasi, Sarana dan Prasarana Terhadap Kinerja
Guru dan Kualitas Pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan, Unpublished
dissertation. Universitas Muslim Indonesia. Makassar.
Mantja,
Willem. (2002). Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran. Malang: Wineka
Media.
Misbahuddin.
(2013). The Development of Teacher Profession. Thesis. Program Pascasarjana
Universitas Negeri Makassar. April.
Nielsen,
Dean H. 1996. Reform to Teacher Education in Indonesia: Does More Mean Better?.
Research Paper. World Bank Teacher Development Project.
Purba,
Janulis P. (2005). Action Research to Increase Teacher’s Professionalism in
Engineering. The fifth Comparative Education Society of Asia Biennial
Conference. University Kebangsaan Malaysia.
Reeves,
Jenny. (2007). Inventing the Chartered Teacher. British Journal
of Educational Studies. Vol. 55,
No. 1. Pp. 56-76.
Rizvi,
Meher and Elliot, Bob. (2007). Enhancing and Sustaining Teacher Professionalism
in Pakistan. Teachers and Teaching: Theory and Practice. Vol. 13, No. 1, pp.
5-19.
Schacter,
M. (2000). Sub Saharan Africa: Lessons from Experience in Supporting Sound
Governance. In Kusek, J. Z., and Rist, R.C. (2004). Ten Steps to a Result Based
Monitoring and Evaluation System: A Handbook for Development Practitioners.
Washington D.C.: The World Bank.
Sudarminta
J. 2000. Tantangan dan Permasalahan Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium
ketiga dalam A. Atmadi dan Y. Setiyaningsih (editor) Transformasi Pendidikan:
Memasuki Milenium ketiga. Yogyakarta:Kanisius. Cetakan 1. Hal.3.
Sutanto (2013). Kebijakan dan Program
Pendidikan Menengah Tahun 2013. Jakarta.
Toh,
K.-A., Ho, B.-T., Riley, J. P., & Hoh, Y.-K. (2006). Meeting the Highly
Qualified Teachers Challenge. Educational Research for Policy and Practice, 5,
187–194.
Towsend,
T and Bates, Richard (Eds.). (2007). Handbook of Teacher Education:
Globaization, Standards, and Professionalism in Time of Change. Netherlands:
Springer.
Tuovinen,
Juhani E. (2008). Teacher Professionalism: Viewpoints on Best Practice, the
Case og Finland. AARE 2008 Conference, Brisbane, Australia.
Watt,
H. M. G., & Richardson, P. W. (2008). Motivations, Perceptions, and
Aspirations Concerning Teaching as a Career for Different Types of Beginning
Teachers. Learning and Instruction, 18, 408–428.
Wood,
Diane R. (2007). Professional Learning Communities: Teachers, Knowledge, and
Knowing. Theory into Practice. Vol.
46, No. 4, pp. 281-290.
Leave a Comment